Jumat, 06 Februari 2009

peranan pers dalam masyarakat indonesia

Pers menilai UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat sehingga perlu direvisi.
Menurut Dewan Pers dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu, kekhawatiran itu mengemuka dalam diskusi menyangkut UU ITE yang diselenggarakan Dewan Pers, Senin (7/4).

Ancaman tersebut terdapat dalam pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Ancaman lainnya ada pada pasal 28 ayat (2) tentang kesengajaan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.

Setiap orang yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp 1 miliar.

Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan tersebut mengingatkan pada haatzai artikelen di KUHP, pasal-pasal karet produk kolonial, yang sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Menurut anggota Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja, perancang UU ITE tidak mengikuti perkembangan hukum internasional. Sedikitnya 50 negara sudah mengalihkan masalah kabar bohong, penghinaan, pencemaran dari hukum pidana menjadi hukum perdata. "Beberapa negara bahkan menghapus sama sekali ketentuan hukum penyebaran kebencian dan penghinaan karena dianggap sulit dibuktikan atau sangat subjektif," katanya.

Kebiri Pers
Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE berpotensi mengebiri pers karena berita pers dalam wujud informasi elektronik (di internet), terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa, dapat dinilai sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian.

Dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, aparat polisi dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan yang dianggap melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam UU ITE.

Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi dan Informatika Edmon Makarim menilai ketentuan pidana dalam UU ITE tidak dapat dikenakan untuk pers. "UU ITE sama sekali tidak menyinggung atau menyebut pers. Selain itu, pers telah dilindungi oleh UU Pers," kata Edmon yang terlibat dalam proses perumusan UU ITE. Namun, pernyataan itu disangsikan mengingat aparat hukum cenderung mengabaikan UU Pers.

Dalam diskusi tersebut dicapai kesimpulan, komunitas pers perlu mengajukan judicial review UU ITE ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, muncul desakan agar Dewan Pers meminta pemerintah untuk secara eksplisit memasukkan pemberitaan pers sebagai pengecualian terhadap UU ITE dalam peraturan pemerintah, serta perlu menyosialisasikan di kalangan penegak hukum agar tidak asal bertindak dalam upaya penegakan hukum UU ITE. (Victor AS)

JAKARTA (Suara Karya)

Tidak ada komentar: